Mering Sang Pamungkas

Oleh Pay Jarot Sujarwo
Ini cerita tentang seorang kawan yang memiliki dua nama. Alecander Mering dan Wisnu Pamungkas. Orangnya cuma satu. 
Tentang dua nama ini, kucoba mengulangi kembali cerita yang pernah kudengar langsung dari pemilik nama, atau yang bersangkutan. Alexander Mering adalah salah seorang jurnalis di Kalimantan Barat. Dia adalah orang Dayak yang dimasa mudanya pengen menjadi orang Batak. Hmm, ini adalah kesimpulanku sendiri. Karena dia memutuskan untuk kuliah di Fakultas Hukum. Nah, orang Batak kan banyak yang menjadi pengacara tuh, so, pastinya para pengacara itu juga kuliah di Fakultas Hukum. Berdasarkan analisis inilah, maka kusimpulkan bahwa AA. Mering ketika tamat SMA pengen menjadi orang Batak. Atau dia pengen punya nama tambahan, seperti Mering Simamora, atau Mering Simorangkir, atau Mering Sitompul, atau Mering Simalakama.
Oh, analisis di atas adalah analisis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tapi mungkin kita bisa sedikit mempertimbangkan soal nama Mering Simalakama. Ya, memang simalakama-lah si Mering itu, sebab lulus dari Fakultas Hukum, bukannya menjadi orang Batak, apalagi menjadi pengacara, malah menjadi penulis. Hebatnya lagi, dia bersumpah atas nama pohon dengan segala macam roh halus maupun kasar, logis maupun tidak logis, bahwa dia tidak pernah menyesal sudah menjadi penulis.

Begini kira-kira cerita yang pernah kudengar dari mulutnya langsung. Sebagai orang kampung, tentu saja bisa kuliah adalah hal yang membanggakan sekaligus menyedihkan. Bangga, karena tidak semua orang kampung bisa kuliah. Sedih karena orang kampung yang bisa kuliah berarti harus siap dengan kelaparan dan hutang sana-sini di akhir bulan. Menunggu kiriman orang tua, hmmm, sebaiknya lebih berbunga-bunga menunggu surat cinta dari sang kekasih dari pada menunggu wesel dari kampung. Miskin mungkin bisa dijadikan salah satu alasan baginya untuk mencari uang sewaktu kuliah dengan menulis. Walaupun alasan yang sebenarnya, Mering memang sudah terbiasa dengan bahan-bahan bacaan sejak kecil yang juga memotivasi dirinya untuk juga menulis. Pelajaran moral pertama: Sumpah atas nama pohon yang disambar-sambar geledek saat hujan membabi buta, bahwa tidak akan pernah lahir seorang penulis, kalau dirinya tidak mau membaca. Ya, penulis dilahirkan dari rahim berlembar-lembar bahan bacaan dengan air susu dan belai lembut huruf, kata, dan kalimat yang pada akhirnya mendarah daging dalam dirinya. Oh, rumit kayaknya. Begini simpelnya. KALAU MAU JADI PENULIS, YA HARUS JADI PEMBACA.
Nah, Mering Simalakama adalah orang yang telah menyantap banyak bahan bacaan semenjak dia kecil. Jadi tidaklah mengherankan kalau ketika dia besar pada akhirnya menjadi penulis. Karena hobby-nya adalah menulis, dan di kampus tempatnya kuliah dia mendengar ada kelompok belajar atau sanggar yang konsentrasi dalam bidang kepenulisan, diapun nyelonong ke sana. Nama sanggar ini adalah Sanggar KIPRAH. Dan perlu diketahui bahwa sanggar KIPRAH adalah sanggar yang didirikan oleh anak-anak Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura, khususnya anak program studi Bahasa Indonesia, yang otomatis anggotanya adalah anak-anak internal FKIP. Tapi dasar simalakama, Mering nekat untuk menjadi anggota sanggar KIPRAH, padahal, sudah diketahui bahwa Mering adalah mahasiswa dari Fakultas Hukum. Entah dengan jampi-jampi apa yang dimilikinya, hingga akhirnya, selain kuliah di Fakultas Hukum Untan, Mering juga kuliah menulis di Fakultas KIPRAH.
Yang ditulisnya sebagian besar adalah karya-karya sastra. Sajak, cerpen, artikel budaya. Selain itu Mering juga menulis tentang laporan-laporan jurnalistik. Nah, karya-karya yang ditulisnya ini sebagian dikirimkannya ke media-media cetak baik lokal maupun nasional. Dengan nama pengarang ditulis lengkap sebagai Asriyadi Alexander Mering, atau disingkat dengan AA. Mering. Ada banyak sajak dan cerpen yang dikirimnya. Ada banyak waktu yang dibuangnya. Ada banyak ide, inajinasi, pikiran, tenaga, uang untuk beli amplop dan prangko, tapi tulisannya tak kunjung terbit. Memang pantaslah dia dikasi nama Mering Simalakama. Mau jadi orang Batak gagal, mau jadi pengacara apalagi, mau jadi penulis, duh susahnya.
Sebenarnya nasib yang dialami Mering, juga merupakan nasib yang dialami penulis-penulis besar lainnya ketika mengawali karir kepenulisannya. Umbu Landu Paranggi, Seno Gumira Ajidarma, Pramudya Ananto Toer, Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, WS. Rendra, mereka tidak menulis sekali, lalu membalikkan telapak tangan, lalu orang-orang menyebutnya sebagai penulis ternama. Tidak. Tidak seperti itu. Nama-nama yang lain, seperti Rosihan Anwar, Gunawan Muhammad, Dahlan Iskan, Jacoub Oetama, Hasan Aspahani, Nur Iskandar, Muhlis Suhaeri, PJ Sujarwo, pun tidak langsung lahir sebagai penulis seperti membuka mata saat bangun tidur. Tidak seperti itu. Nasib yang dialami simalakama Mering juga dialami hampir 100 persen penulis ternama di dunia ini. Mengirimkan tulisannya berkali-kali. Ditolak. Tidak putus asa. Kirim lagi. Ditolak lagi. Kirim lagi. Ditolak lagi. Begitu terus menerus. Bahkan tak jarang dengan penolakan yang sangat memalukan, misalnya dengan kalimat seperti ini: Hey, kamu kalau ga bisa nulis, kenapa maksa jadi penulis sih? Lebih baik pulang ke rumah sana, nyusu lagi di tetek ibumu! Dasar anak bau kencur basi, yang kalau kencur itu dicampur dalam jamu, yang minum jamu akan sakit perut tujuh hari tujuh malam! Ya, makian sejenis itu adalah makian yang wajar ditemui oleh orang-orang yang dikemudian hari kita kenal sebagai penulis-penulis luar biasa.

Pelajaran moral kedua adalah: Sumpah atas nama pepohonan yang tumbuh gagah perkasa di hutan Kalimantan dan dengan seenaknya ditebangi oleh para pemilik modal, TIDAK AKAN LAHIR SEORANG PENULIS YANG BARU SEKALI MENGIRIMKAN KARYANYA KE MEDIA, LALU TIDAK TERBIT, DAN MERENGEK-RENGEK DENGAN WAJAH MENJIJIKKAN. TIDAK AKAN PERNAH TANDA SERU ENAM KALI.
Begitulah, Asriyadi Alexander Mering tak gentar menghadapi segala macam bahaya penolakan redaktur dan caci maki tak berperasaan. Dan dia bukan orang kampung yang bodoh bale, tapi sebaliknya, kecerdasan yang dimiliki Mering adalah kecerdasan yang belum tentu dimiliki oleh orang-orang kebanyakan. Mering sudah kehabisan cerita untuk dikirimkan. Tapi dia tidak kehabisan akal. Cerita yang dulu pernah dikirimnya dan ditolak, dia ketik ulang dengan nama pengarang yang berbeda, dan kembali dikirim di media yang sama, yang telah menolak cerita itu. Kali ini nama pengarangnya adalah WISNU PAMUNGKAS. Oh, orang Dayak yang ingin jadi orang Batak ini, ternyata juga ingin menjadi orang Jawa atau orang Bali. Lihat, Wisnu adalah nama dewa agama Hindu, yang nama ini kebanyakan dipakai oleh orang-orang Bali atau mereka yang beragama Hindu. Pamungkas, adalah bahasa Jawa yang artinya adalah “Yang terakhir atau penutup” atau Wisnu Pamungkas bisa kita artikan sebagai Dewa Wisnu yang terakhir yang menitis di dalam darah Mering Simalakama. Analisisnya begini, setelah Mering Simalakama menitis menjadi Dewa Wisnu, tak ada lagi titisan-titisan Dewa Wisnu yang lain di muka bumi ini karena dia adalah Wisnu Pamungkas, atau Dewa Wisnu terakhir yang turun ke dunia yang masuk ke dalam darah orang Dayak. Lagi-lagi analisis ini adalah analisis yang sama sekali tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Aneh bin Ajaib (sudah pasti Aneh berjenis kelamin laki-laki, karena kalau Aneh itu perempuan pasti jadi Aneh binti Ajaib), cerita yang sama yang pernah dikirim ke media yang sama dan ditolak dengan tidak hormat, ketika dikirimkan kembali dengan nama pengarang Wisnu Pamungkas, pada akhirnya terbit. Dan media ini bukan sembarang media yang terbit di daerah-daerah, melainkan ini adalah media nasional. Lupa aku apa nama medianya, tapi aku ingat bahwa ini adalah media nasional. Nanti kalau kalian bertemu langsung dengan Mering, tanya aja apa nama media nasional yang telah melambungkan namanya sebagai Wisnu Pamungkas.
So what, kesaktian Dewa Wisnu inilah yang kemudian disandangnya kemana-mana. Kali ini namanya bukan lagi Mering Simalakama. Melainkan Wisnu Pamungkas. Bukan lagi orang Batak, melainkan orang Jawa-Bali. Dan sekarang, kalau kalian bertemu dengan Mering dan bertanya soal identitas kesukuan, dia akan mudah menjawab, bahwa dirinya adalah manusia tanpa identitas. Dan kalaupun dia mau punya identitas, dia tinggal bikin saja identitas itu sesuka hatinya. Karena menurutnya, identitas itu adalah pilihan yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan. Sekarang aku baru menyadari bahwa orang cerdas ini memang telah memiliki pilihan, bahkan semenjak usianya masih teramat sangat muda (kalimat ini sama sekali tidak berarti bahwa sekarang Mering sudah menjadi teramat sangat tua).
Begitulah sejarah laki-laki cerdas dari satu kampung terpencil di Kabupaten Sintang ini punya nama. Mering atau Wisnu. Sama saja. Akhir-akhir ini dia membuat keputusan, karena profesinya adalah jurnalis. Dan setiap yang dihasilkan oleh jurnalis adalah fakta, soal nama pun harus juga fakta. Maka, sebagai jurnalis dia bernama AA. Mering. Nah, dalam hal imajinasi, dalam hal ini sastra, ketika dia menulis sastra, maka dengan bebas dia menyebut dirinya siapa. Karena nama dalam dunia sastra tak lebih dari persoalan imajinasi. Jadi panggil dia dengan nama Wisnu Pamungkas ketika kalian membaca tulisan-tulisan sastranya.
Nama Wisnu Pamugkas kudengar pertama kali dari dua orang teman, Amrin dan Yufita. Waktu itu kami bertiga ingin menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen dan sedang mencari-cari siapa yang pantas menulis di kata pengantar buku tersebut. Karena aku baru saja kembali ke Pontianak, dan belum terlalu banyak mengenal sesiapa saja penulis atau kritikus sastra di daerah ini, maka aku pasrah dan percaya saja ketika Amrin dan Yufita menyebut nama Wisnu Pamungkas. Waktu itu Wisnu bekerja di salah sebuah media cetak di Kalimntan Barat. “Waktu itu” bisa juga dibaca sebagai, “dulu” atau “sekarang tidak lagi”. Ya, itu dulu. Dan sekarang tidak lagi. Karena Wisnu dan beberapa orang teman sekantor telah dianggap pembangkang dan tak layak bekerja lagi di kantor itu. Dipecat. Dipecat. Sekali lagi ah. DIPECAT dengan huruf kapital dan tidak dengan hormat.
Ini kalimat yang membanggakan yang kudengar dari mulut Wisnu waktu dia dipecat. “Sebagai karyawan sebuah media, kita bisa dipecat kapan saja dengan cara apa saja. Tapi sebagai penulis. Tak satupun makhluk hidup dimuka bumi ini yang bisa memecat kita. Hanya Tuhan yang sanggup memecat penulis. Dengan cara mencabut nyawanya.” Kuulangi. Ini adalah kalimat membanggakan. Bahwa menulis adalah pekerjaan yang tak kenal kata pensiun. Silahkan saudara menjadi atlet. Silahkan kalian menjadi Artis. Menjadi Pilot, Polisi, Dokter, Insinyur. Silahkan kamu-kamu semua menjadi Pegawai Negeri Sipil. Maka siap-siaplah kalian mendengar kata Dipecat, Potong Gaji, Pendapatan Rendah, dimarahin bos. Dan sejenisnya.  Dan apa yang terjadi ketika usia kalian menginjak angka 60 tahun? Masih bisa angkat besi, marathon, menendang bola, bertinju, aerobic? Hohoho, tulang belulangmu akan remuk redam. Jadi artis di usia 60-an? Barangkali saja masih bisa, tapi teramat sangat jarang rang rang rang. Dan kalaupun ada, huuuf, honornya kecil dan jarang-jarang jadi pemeran utama. Menerbangkan pesawat diusia tua? Bekerja di pemerintahan? Mengatur lalu lintas jalan raya, weleh weleh. Harapannya kecil sekali. Yang tersisa tinggal pensiun dan menunggu malaikat maut menjemput dan tiap bulan harus mencicil kreditan kendaraan yang dipake anak cucu. Tapi kalau kalian memutuskan menjadi seorang penulis, kata Wisnu Pamungkas, kita bisa bekerja dari rumah, dan memiliki kantor di seluruh dunia. Karena setiap media yang memuat tulisan kita adalah kantor kita. Besok meninggal dunia, hari ini masih bisa bekerja. Tak ada kata pensiun. Penulis tak akan pernah dimarahin bos. Penulis adalah mereka yang paling merdeka terhadap dirinya sendiri. Dan yang terpenting adalah, menulis itu berarti berbagi ilmu kepada siapa saja yang membaca. Jika ilmu itu bermanfaat, maka sepanjang hidup bahkan sampai meninggal dunia, manfaat itu akan bisa kita sendiri dan orang banyak rasakan. Menulislah. Sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Pelajaran moral ketiga adalah: kalau kening kamu tidak mau ditunjuk-tunjuk sama bos yang kepalanya sulah dengan perut buncit dan mulutnya bau, hanya gara-gara kamu melakukan kesalahan kecil, maka, jadilah PENULIS.
Setelah peluncuran buku Nol Derajat, aku dan Wisnu semakin hari semakin akrab. Warung kopi malam hari, bertukar sapa lewat sms, e-mail, adalah sesuatu yang sering kami lalui. Banyak hal yang kupelajari darinya. Karena kesibukan, kami jarang bertemu, namun ketika saatnya kami bertemu, ketika itulah Wisnu berbagi banyak kisah. Kisah yang begitu berharga. Kalau aku disuruh menuliskan nama-nama orang luar biasa yang meninggalkan kesan berharga dalam hatiku, maka salah satu nama itu adalah Alexander Mering, lelaki Dayak yang di darahnya menitis kesaktian Dewa Wisnu yang turun terakhir kali di dunia.
Oh, tapi tentu saja lelaki ini tidak melulu memiliki karakter yang bagus. Aku merasa perlu mengingatkan para pembaca sekalian, bahwa jangan sekali-kali meminjamkan buku kepada Alexander Mering. Karena, atas nama segala macam pepohonan dan roh jahat yang bersarang dalam tubuhnya, buku yang kisanak pinjamkan kepadanya tidak akan pernah kembali. Dia akan beralasan, oh, bukumu tertinggal di Sintang waktu aku pulang kampung liburan kemarin. Atau, tenang, bukumu masih ada kok, tapi aku lupa dimana menyimpannya. Ya. Ada seribu tiga belas alasan yang akan keluar dari mulut Mering kalau kisanak menagih buku yang telah kisanak pinjamkan kepadanya. Tak akan pernah. Ini terjadi pada diriku. Suatu hari, datanglah si bodoh bale ini kepada Mering, memperlihatkan buku tulisan Pramudya Ananta Toer yang judulnya Panggil Aku Kartini Saja. Asal kalian tau, betapa aku sangat mengagumi Pramudya. Sebagai penulis fiksi, lelaki ini mampu mengibarkan semangat manusia Indonesia bahkan dunia untuk sadar akan sejarahnya. Orang yang pernah diasingkan di pulau Buru ini adalah pahlawan tanpa tawar menawar di jagad sastra nusantara. Buku-bukunya dicetak tebal-tebal. Dijual dengan harga mahal-mahal. Termasuk Panggil Aku Kartini Saja. Kubeli di Gramedia tanpa diskon, dan tanpa sempat merayu perempuan penjaga kasir. Betapa bangganya aku dengan buku satu itu. Dan ketika buku itu kupinjamkan ke Alexander Mering. Kau bunuh pun lelaki itu, mungkin buku itu tak juga mau dikembalikannya. Hmmm, memang tidak perlu dengan cara kekerasan.
Ini adalah jurus pamungkasku, dengan menuliskan cerita ini, di buku yang sedang kalian baca ini, aku berharap, Mering juga akan membacanya. So pasti dia akan membacanya, karena ada cerita tentang dirinya. Bodoh bale siape diangkot kalok tak maok bace cerite sorang yang ditulis orang? Nah, maka dia akan terharu. Karena dia terharu, dan sampai di paragraf tentang buku Pramudya Ananta Toer yang judulnya Panggil Aku Kartini Saja, maka serta merta dirinya akan tersadar bahwa selama ini dirinya memiliki watak jahat, yakni tak pernah mau mengembalikan buku yang dipinjammnya. Hohoho, maka dia akan khilaf, insyaf, saraf, dan dengan jalan setengah membungkuk dan menunduk, dia akan menghampiriku. Memeluk erat lututku, memohon-mohon kepadaku. Supaya aku memaafkan segala macam dosanya. Kemudian Mering akan berkata, “Kisanak, maafkan aku karena telah lama meminjam bukumu. Atas nama segala macam pepohonan yang tumbuh di bumi, maka dengan ini buku berjudul Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramudya Ananta Toer, kukembalikan kepadamu,”
Bukankah rencana ini cukup brilliant? Dan akhirnya buku ini akan kembali kepadaku. Tapi Ssssssssssssssttttt, bagi kalian yang kenal Mering, jangan cerita akal bulus ini kepadanya ya. Biarkan saja dia membaca sendiri. Karena tidak akan seru kalau diceritakan. Bukan cuma buat Mering saja, buat yang lain juga. Bagi yang sudah baca cerita ini, suruh teman-teman, saudara, keluarga, kekasih, tetangga, musuh bebuyutan, atau siapa saja, untuk membaca cerita yang ada dalam buku ini. Kalau perlu pasang iklan di koran-koran bahwa ada buku menarik yang ditulis anak daerah ini yang wajib dibaca siapa saja. Dan ingat, jangan sekali-kali kalian pinjamkan buku yang sudah kalian beli ini ke orang-orang itu. Awas, bahaya. Nanti nasib yang kualami karena telah meminjamkan buku kepada Mering akan menimpa kalian semua. Suruh mereka beli sendiri. Ya. Sekali lagi. Jangan pernah pinjamkan buku ini ke orang lain. Ceritakan saja, bahwa buku ini sangat bagus, bacanya sampai gemetaran. Nah ketika mereka mulai penasaran, suruh mereka beli sendiri.
Pelajaran moral keempat: MEMBELI BUKU INI AKAN DIDOAKAN MASUK SURGA OLEH PENULISNYA.
Kembali ke cerita tentang Alexander Mering, lelaki titisan Dewa Wisnu yang terakhir kalinya di muka bumi. Setelah dipecat dari koran tempat dia bekerja, lelaki ini tidak tinggal diam. Dia dan teman-teman senasib sepenanggungan punya rencana luar biasa menakjubkan. Dan benar-benar menakjubkan ketika rencana ini pada akhirnya benar-benar mampu mereka wujudkan. Dimulai dengan tantangan yang lebih bersifat menyepelekan, “Kalau kalian mampu, bikin aja koran sendiri. Kalian pikir bikin koran itu mudah?” Mendirikan sebuah perusahaan media cetak memang tidak mudah. Tapi Mering dan teman-teman bukan orang sepele. Mereka sama sekali tidak layak diremehkan. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan daerah yang dialiri sungai terpanjang di negara ini penuh warna. Penuh keberagaman. Indah dan mempesona. Alexander Mering dan teman-teman dengan idealisme jurnalist yang mereka miliki pada akhirnya mampu mendirikan sebuah perusahan media cetak daerah yang tak bisa dipandang sebelah mata di usia mereka yang benar-benar masih bayi batita (bayi di bawah tiga tahun). Nur Iskandar, teman senasib sepenanggungan Mering yang kemudian dipercaya untuk memimpin redaksi koran yang mereka dirikan.
Tak lama setelah koran baru ini terbit, tiba-tiba Mering menghubungiku. Dia bercerita bahwa dirinya dipercaya untuk mengendarai halaman sastra yang terbit setiap hari minggu. Dan dia ingin menerbitkan cerita tentang diriku sebanyak satu halaman penuh di koran tersebut. Satu halaman penuh? Tentu saja aku terkejut dan bertanya dalam hati, apakah layak diriku untuk satu halaman penuh? Apa kapasitasku? Siapa diriku? Serta merta kecamuk pertanyaan dalam hati tersebut dipatahkan oleh Mering. Seolah-olah titisan dewa Wisnu ini dapat membaca pertanyaan-pertanyaanku, meskipun di dalam hati. Katanya, aku mampu menginspirasi mereka untuk menularkan semangat kepenulisan kepada masyarakat di Kalimantan Barat. Dan Mering mengaku, bahwa gagasan mereka berkeliling sekolah untuk menularkan ilmu jurnalistik ke para siswa itu meniru apa yang telah kulakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Cuma tools-nya yang berbeda, kalau aku memotivasi anak-anak remaja untuk menulis sastra, Mering dan kawan-kawan seperjuangan memotivasi mereka untuk menulis fakta, atau jurnalistik.
Mengenai apa yang telah kulakukan, yakni berkeliling ke sekolah-sekolah, pada dasarnya hanya bermodalkan semangat. Bahwa kalau saja setiap anak di daerah ini mau membaca kemudian mengaplikasikan apa yang mereka baca dengan menulis, maka menjadikan daerah ini jauh lebih baik, itu lebih mudah daripada sekadar membalikkan telapak tangan. Ya. Menulislah. Maka perubahan ke arah yang lebih baik tiba-tiba saja berada di depan mata. Dan ketika gagasan kampanye baca tulis ini kemudian ditiru oleh Mering dan teman-temannya, sama sekali aku tidak pernah bersedih. Malah sebaliknya, senang sembilan belas keliling. Sukur-sukur akan ada lagi mereka yang lain yang terus mengkampanyekan persoalan baca tulis. Dan betapa senangnya diriku, karena semakin hari semakin banyak personal, lembaga, organisasi atau entah apa namanya, di Kalimantan Barat yang turun ke sekolah, mengkampanyekan kepada para siswa untuk membaca dan menulis. Sebut saja di antaranya Fredy, penulis muda harapan Kalimantan Barat di masa mendatang, dan Lentera Community, kommunitas kepenulisan yang berisi para remaja yang memiliki semangat menulis luar biasa.
Begitulah, sehabis memotret wajahku di warung kopi di bilangan jalan Gajah Mada Pontianak, Mering memintaku memberikan data diriku. “Wawancaranya via e-mail saja ya,” katanya. Kusanggupi. Tak lama setelah itu, memang benar-benar terjadi, satu halaman penuh ada cerita tentang diriku yang ditulis Alexander Mering, dengan nama Wisnu Pamungkas. Dalam buku ini, cerita itu kutampilkan kembali. Tak hanya sebagai ucapan terima kasih tak terhingga kepada orang bersuku Batak dengan marga Simalakama, tetapi juga sebagai sebagai ikrar bersama, bahwa semangat yang tak berhenti menyala adalah hal yang paling membuat hidup ini begitu berharga.
Terimakasih Mering, jangan lupa kembalikan bukuku ya. Kuingatkan lagi judulnya Panggil Aku Kartini Saja, yang nulis Pramudya Ananto Toer. 

Kata Mering: "Brur, udah kubalekkan (kukembalikan) buku tu, buku burok lantok pun diribotkan, dah dibalekkan pun tak terimakasih. Awas ye kalau nagih agek, aku kutuk jadi ente jadi Kartini....hahahahaha".

An encouraging quote from me:

"Something I know that you don't know, something you know that I don't know, that's why life is so important and beautiful to be written."