Ini cerita tentang seorang kawan yang memiliki dua nama. Alecander Mering dan Wisnu Pamungkas. Orangnya cuma satu.
Tentang dua nama ini, kucoba mengulangi kembali cerita yang pernah kudengar
langsung dari pemilik nama, atau yang bersangkutan. Alexander Mering adalah salah
seorang jurnalis di Kalimantan Barat. Dia adalah orang Dayak yang dimasa
mudanya pengen menjadi orang Batak. Hmm, ini adalah kesimpulanku sendiri. Karena
dia memutuskan untuk kuliah di Fakultas Hukum. Nah, orang Batak kan banyak yang
menjadi pengacara tuh, so, pastinya para pengacara itu juga kuliah di Fakultas
Hukum. Berdasarkan analisis inilah, maka kusimpulkan bahwa AA. Mering ketika
tamat SMA pengen menjadi orang Batak. Atau dia pengen punya nama tambahan,
seperti Mering Simamora, atau Mering Simorangkir, atau Mering Sitompul, atau
Mering Simalakama.
Oh, analisis di atas adalah analisis yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Tapi mungkin kita bisa sedikit mempertimbangkan soal
nama Mering Simalakama. Ya, memang simalakama-lah si Mering itu, sebab lulus
dari Fakultas Hukum, bukannya menjadi orang Batak, apalagi menjadi pengacara,
malah menjadi penulis. Hebatnya lagi, dia bersumpah atas nama pohon dengan
segala macam roh halus maupun kasar, logis maupun tidak logis, bahwa dia tidak
pernah menyesal sudah menjadi penulis.
Begini kira-kira cerita yang pernah kudengar dari mulutnya langsung.
Sebagai orang kampung, tentu saja bisa kuliah adalah hal yang membanggakan
sekaligus menyedihkan. Bangga, karena tidak semua orang kampung bisa kuliah.
Sedih karena orang kampung yang bisa kuliah berarti harus siap dengan kelaparan
dan hutang sana-sini di akhir bulan. Menunggu kiriman orang tua, hmmm,
sebaiknya lebih berbunga-bunga menunggu surat cinta dari sang kekasih dari pada
menunggu wesel dari kampung. Miskin mungkin bisa dijadikan salah satu alasan
baginya untuk mencari uang sewaktu kuliah dengan menulis. Walaupun alasan yang
sebenarnya, Mering memang sudah terbiasa dengan bahan-bahan bacaan sejak kecil
yang juga memotivasi dirinya untuk juga menulis. Pelajaran moral pertama:
Sumpah atas nama pohon yang disambar-sambar geledek saat hujan membabi buta,
bahwa tidak akan pernah lahir seorang penulis, kalau dirinya tidak mau membaca.
Ya, penulis dilahirkan dari rahim berlembar-lembar bahan bacaan dengan air susu
dan belai lembut huruf, kata, dan kalimat yang pada akhirnya mendarah daging
dalam dirinya. Oh, rumit kayaknya. Begini simpelnya. KALAU MAU JADI PENULIS, YA
HARUS JADI PEMBACA.
Nah, Mering Simalakama adalah orang yang telah menyantap banyak bahan
bacaan semenjak dia kecil. Jadi tidaklah mengherankan kalau ketika dia besar
pada akhirnya menjadi penulis. Karena hobby-nya adalah menulis, dan di kampus
tempatnya kuliah dia mendengar ada kelompok belajar atau sanggar yang
konsentrasi dalam bidang kepenulisan, diapun nyelonong ke sana. Nama sanggar
ini adalah Sanggar KIPRAH. Dan perlu diketahui bahwa sanggar KIPRAH adalah
sanggar yang didirikan oleh anak-anak Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Tanjungpura, khususnya anak program studi Bahasa Indonesia,
yang otomatis anggotanya adalah anak-anak internal FKIP. Tapi dasar simalakama,
Mering nekat untuk menjadi anggota sanggar KIPRAH, padahal, sudah diketahui
bahwa Mering adalah mahasiswa dari Fakultas Hukum. Entah dengan jampi-jampi apa
yang dimilikinya, hingga akhirnya, selain kuliah di Fakultas Hukum Untan,
Mering juga kuliah menulis di Fakultas KIPRAH.
Yang ditulisnya sebagian besar adalah karya-karya sastra. Sajak, cerpen,
artikel budaya. Selain itu Mering juga menulis tentang laporan-laporan
jurnalistik. Nah, karya-karya yang ditulisnya ini sebagian dikirimkannya ke
media-media cetak baik lokal maupun nasional. Dengan nama pengarang ditulis
lengkap sebagai Asriyadi Alexander Mering, atau disingkat dengan AA. Mering.
Ada banyak sajak dan cerpen yang dikirimnya. Ada banyak waktu yang dibuangnya.
Ada banyak ide, inajinasi, pikiran, tenaga, uang untuk beli amplop dan prangko,
tapi tulisannya tak kunjung terbit. Memang pantaslah dia dikasi nama Mering
Simalakama. Mau jadi orang Batak gagal, mau jadi pengacara apalagi, mau jadi
penulis, duh susahnya.
Sebenarnya nasib yang dialami Mering, juga merupakan nasib yang dialami
penulis-penulis besar lainnya ketika mengawali karir kepenulisannya. Umbu Landu
Paranggi, Seno Gumira Ajidarma, Pramudya Ananto Toer, Sutardji Calzoum Bachri,
Putu Wijaya, WS. Rendra, mereka tidak menulis sekali, lalu membalikkan telapak
tangan, lalu orang-orang menyebutnya sebagai penulis ternama. Tidak. Tidak
seperti itu. Nama-nama yang lain, seperti Rosihan Anwar, Gunawan Muhammad,
Dahlan Iskan, Jacoub Oetama, Hasan Aspahani, Nur Iskandar, Muhlis Suhaeri, PJ
Sujarwo, pun tidak langsung lahir sebagai penulis seperti membuka mata saat
bangun tidur. Tidak seperti itu. Nasib yang dialami simalakama Mering juga
dialami hampir 100 persen penulis ternama di dunia ini. Mengirimkan tulisannya
berkali-kali. Ditolak. Tidak putus asa. Kirim lagi. Ditolak lagi. Kirim lagi.
Ditolak lagi. Begitu terus menerus. Bahkan tak jarang dengan penolakan yang
sangat memalukan, misalnya dengan kalimat seperti ini: Hey, kamu kalau ga bisa
nulis, kenapa maksa jadi penulis sih? Lebih baik pulang ke rumah sana, nyusu
lagi di tetek ibumu! Dasar anak bau kencur basi, yang kalau kencur itu dicampur
dalam jamu, yang minum jamu akan sakit perut tujuh hari tujuh malam! Ya, makian
sejenis itu adalah makian yang wajar ditemui oleh orang-orang yang dikemudian
hari kita kenal sebagai penulis-penulis luar biasa.
Pelajaran moral kedua adalah: Sumpah atas nama pepohonan yang tumbuh gagah
perkasa di hutan Kalimantan dan dengan seenaknya ditebangi oleh para pemilik
modal, TIDAK AKAN LAHIR SEORANG PENULIS YANG BARU SEKALI MENGIRIMKAN KARYANYA
KE MEDIA, LALU TIDAK TERBIT, DAN MERENGEK-RENGEK DENGAN WAJAH MENJIJIKKAN.
TIDAK AKAN PERNAH TANDA SERU ENAM KALI.
Begitulah, Asriyadi Alexander Mering tak gentar menghadapi segala macam
bahaya penolakan redaktur dan caci maki tak berperasaan. Dan dia bukan orang
kampung yang bodoh bale, tapi
sebaliknya, kecerdasan yang dimiliki Mering adalah kecerdasan yang belum tentu dimiliki
oleh orang-orang kebanyakan. Mering sudah kehabisan cerita untuk dikirimkan.
Tapi dia tidak kehabisan akal. Cerita yang dulu pernah dikirimnya dan ditolak,
dia ketik ulang dengan nama pengarang yang berbeda, dan kembali dikirim di
media yang sama, yang telah menolak cerita itu. Kali ini nama pengarangnya
adalah WISNU PAMUNGKAS. Oh, orang Dayak yang ingin jadi orang Batak ini,
ternyata juga ingin menjadi orang Jawa atau orang Bali. Lihat, Wisnu adalah
nama dewa agama Hindu, yang nama ini kebanyakan dipakai oleh orang-orang Bali
atau mereka yang beragama Hindu. Pamungkas, adalah bahasa Jawa yang artinya
adalah “Yang terakhir atau penutup” atau Wisnu Pamungkas bisa kita artikan
sebagai Dewa Wisnu yang terakhir yang menitis di dalam darah Mering Simalakama.
Analisisnya begini, setelah Mering Simalakama menitis menjadi Dewa Wisnu, tak
ada lagi titisan-titisan Dewa Wisnu yang lain di muka bumi ini karena dia adalah
Wisnu Pamungkas, atau Dewa Wisnu terakhir yang turun ke dunia yang masuk ke
dalam darah orang Dayak. Lagi-lagi analisis ini adalah analisis yang sama
sekali tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Aneh bin Ajaib (sudah pasti Aneh berjenis kelamin laki-laki, karena kalau
Aneh itu perempuan pasti jadi Aneh binti Ajaib), cerita yang sama yang pernah
dikirim ke media yang sama dan ditolak dengan tidak hormat, ketika dikirimkan
kembali dengan nama pengarang Wisnu Pamungkas, pada akhirnya terbit. Dan media
ini bukan sembarang media yang terbit di daerah-daerah, melainkan ini adalah
media nasional. Lupa aku apa nama medianya, tapi aku ingat bahwa ini adalah
media nasional. Nanti kalau kalian bertemu langsung dengan Mering, tanya aja
apa nama media nasional yang telah melambungkan namanya sebagai Wisnu
Pamungkas.
So what, kesaktian Dewa Wisnu inilah yang kemudian disandangnya
kemana-mana. Kali ini namanya bukan lagi Mering Simalakama. Melainkan Wisnu
Pamungkas. Bukan lagi orang Batak, melainkan orang Jawa-Bali. Dan sekarang,
kalau kalian bertemu dengan Mering dan bertanya soal identitas kesukuan, dia
akan mudah menjawab, bahwa dirinya adalah manusia tanpa identitas. Dan kalaupun
dia mau punya identitas, dia tinggal bikin saja identitas itu sesuka hatinya.
Karena menurutnya, identitas itu adalah pilihan yang lahir dari
kebiasaan-kebiasaan. Sekarang aku baru menyadari bahwa orang cerdas ini memang
telah memiliki pilihan, bahkan semenjak usianya masih teramat sangat muda
(kalimat ini sama sekali tidak berarti bahwa sekarang Mering sudah menjadi
teramat sangat tua).
Begitulah sejarah laki-laki cerdas dari satu kampung terpencil di Kabupaten
Sintang ini punya nama. Mering atau Wisnu. Sama saja. Akhir-akhir ini dia
membuat keputusan, karena profesinya adalah jurnalis. Dan setiap yang
dihasilkan oleh jurnalis adalah fakta, soal nama pun harus juga fakta. Maka,
sebagai jurnalis dia bernama AA. Mering. Nah, dalam hal imajinasi, dalam hal
ini sastra, ketika dia menulis sastra, maka dengan bebas dia menyebut dirinya
siapa. Karena nama dalam dunia sastra tak lebih dari persoalan imajinasi. Jadi
panggil dia dengan nama Wisnu Pamungkas ketika kalian membaca tulisan-tulisan
sastranya.
Nama Wisnu Pamugkas kudengar pertama kali dari dua orang teman, Amrin dan
Yufita. Waktu itu kami bertiga ingin menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen
dan sedang mencari-cari siapa yang pantas menulis di kata pengantar buku
tersebut. Karena aku baru saja kembali ke Pontianak, dan belum terlalu banyak
mengenal sesiapa saja penulis atau kritikus sastra di daerah ini, maka aku
pasrah dan percaya saja ketika Amrin dan Yufita menyebut nama Wisnu Pamungkas.
Waktu itu Wisnu bekerja di salah sebuah media cetak di Kalimntan Barat. “Waktu
itu” bisa juga dibaca sebagai, “dulu” atau “sekarang tidak lagi”. Ya, itu dulu.
Dan sekarang tidak lagi. Karena Wisnu dan beberapa orang teman sekantor telah
dianggap pembangkang dan tak layak bekerja lagi di kantor itu. Dipecat.
Dipecat. Sekali lagi ah. DIPECAT dengan huruf kapital dan tidak dengan hormat.
Ini kalimat yang membanggakan yang kudengar dari mulut Wisnu waktu dia
dipecat. “Sebagai karyawan sebuah media, kita bisa dipecat kapan saja dengan
cara apa saja. Tapi sebagai penulis. Tak satupun makhluk hidup dimuka bumi ini
yang bisa memecat kita. Hanya Tuhan yang sanggup memecat penulis. Dengan cara
mencabut nyawanya.” Kuulangi. Ini adalah kalimat membanggakan. Bahwa menulis
adalah pekerjaan yang tak kenal kata pensiun. Silahkan saudara menjadi atlet.
Silahkan kalian menjadi Artis. Menjadi Pilot, Polisi, Dokter, Insinyur. Silahkan
kamu-kamu semua menjadi Pegawai Negeri Sipil. Maka siap-siaplah kalian
mendengar kata Dipecat, Potong Gaji, Pendapatan Rendah, dimarahin bos. Dan
sejenisnya. Dan apa yang terjadi ketika
usia kalian menginjak angka 60 tahun? Masih bisa angkat besi, marathon,
menendang bola, bertinju, aerobic? Hohoho, tulang belulangmu akan remuk redam.
Jadi artis di usia 60-an? Barangkali saja masih bisa, tapi teramat sangat
jarang rang rang rang. Dan kalaupun ada, huuuf, honornya kecil dan
jarang-jarang jadi pemeran utama. Menerbangkan pesawat diusia tua? Bekerja di
pemerintahan? Mengatur lalu lintas jalan raya, weleh weleh. Harapannya kecil
sekali. Yang tersisa tinggal pensiun dan menunggu malaikat maut menjemput dan
tiap bulan harus mencicil kreditan kendaraan yang dipake anak cucu. Tapi kalau
kalian memutuskan menjadi seorang penulis, kata Wisnu Pamungkas, kita bisa
bekerja dari rumah, dan memiliki kantor di seluruh dunia. Karena setiap media
yang memuat tulisan kita adalah kantor kita. Besok meninggal dunia, hari ini
masih bisa bekerja. Tak ada kata pensiun. Penulis tak akan pernah dimarahin
bos. Penulis adalah mereka yang paling merdeka terhadap dirinya sendiri. Dan
yang terpenting adalah, menulis itu berarti berbagi ilmu kepada siapa saja yang
membaca. Jika ilmu itu bermanfaat, maka sepanjang hidup bahkan sampai meninggal
dunia, manfaat itu akan bisa kita sendiri dan orang banyak rasakan. Menulislah.
Sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Pelajaran moral ketiga adalah: kalau kening kamu tidak mau ditunjuk-tunjuk
sama bos yang kepalanya sulah dengan perut buncit dan mulutnya bau, hanya
gara-gara kamu melakukan kesalahan kecil, maka, jadilah PENULIS.
Setelah peluncuran buku Nol Derajat, aku dan Wisnu semakin hari semakin
akrab. Warung kopi malam hari, bertukar sapa lewat sms, e-mail, adalah sesuatu
yang sering kami lalui. Banyak hal yang kupelajari darinya. Karena kesibukan,
kami jarang bertemu, namun ketika saatnya kami bertemu, ketika itulah Wisnu
berbagi banyak kisah. Kisah yang begitu berharga. Kalau aku disuruh menuliskan
nama-nama orang luar biasa yang meninggalkan kesan berharga dalam hatiku, maka
salah satu nama itu adalah Alexander Mering, lelaki Dayak yang di darahnya
menitis kesaktian Dewa Wisnu yang turun terakhir kali di dunia.
Oh, tapi tentu saja lelaki ini tidak melulu memiliki karakter yang bagus.
Aku merasa perlu mengingatkan para pembaca sekalian, bahwa jangan sekali-kali
meminjamkan buku kepada Alexander Mering. Karena, atas nama segala macam
pepohonan dan roh jahat yang bersarang dalam tubuhnya, buku yang kisanak
pinjamkan kepadanya tidak akan pernah kembali. Dia akan beralasan, oh, bukumu
tertinggal di Sintang waktu aku pulang kampung liburan kemarin. Atau, tenang,
bukumu masih ada kok, tapi aku lupa dimana menyimpannya. Ya. Ada seribu tiga
belas alasan yang akan keluar dari mulut Mering kalau kisanak menagih buku yang
telah kisanak pinjamkan kepadanya. Tak akan pernah. Ini terjadi pada diriku.
Suatu hari, datanglah si bodoh bale ini kepada Mering, memperlihatkan buku
tulisan Pramudya Ananta Toer yang judulnya Panggil Aku Kartini Saja. Asal
kalian tau, betapa aku sangat mengagumi Pramudya. Sebagai penulis fiksi, lelaki
ini mampu mengibarkan semangat manusia Indonesia bahkan dunia untuk sadar akan
sejarahnya. Orang yang pernah diasingkan di pulau Buru ini adalah pahlawan
tanpa tawar menawar di jagad sastra nusantara. Buku-bukunya dicetak
tebal-tebal. Dijual dengan harga mahal-mahal. Termasuk Panggil Aku Kartini
Saja. Kubeli di Gramedia tanpa diskon, dan tanpa sempat merayu perempuan
penjaga kasir. Betapa bangganya aku dengan buku satu itu. Dan ketika buku itu
kupinjamkan ke Alexander Mering. Kau bunuh pun lelaki itu, mungkin buku itu tak
juga mau dikembalikannya. Hmmm, memang tidak perlu dengan cara kekerasan.
Ini adalah jurus pamungkasku, dengan menuliskan cerita ini, di buku yang
sedang kalian baca ini, aku berharap, Mering juga akan membacanya. So pasti dia
akan membacanya, karena ada cerita tentang dirinya. Bodoh bale siape diangkot
kalok tak maok bace cerite sorang yang ditulis orang? Nah, maka dia akan
terharu. Karena dia terharu, dan sampai di paragraf tentang buku Pramudya
Ananta Toer yang judulnya Panggil Aku Kartini Saja, maka serta merta dirinya
akan tersadar bahwa selama ini dirinya memiliki watak jahat, yakni tak pernah
mau mengembalikan buku yang dipinjammnya. Hohoho, maka dia akan khilaf, insyaf,
saraf, dan dengan jalan setengah membungkuk dan menunduk, dia akan
menghampiriku. Memeluk erat lututku, memohon-mohon kepadaku. Supaya aku
memaafkan segala macam dosanya. Kemudian Mering akan berkata, “Kisanak, maafkan
aku karena telah lama meminjam bukumu. Atas nama segala macam pepohonan yang
tumbuh di bumi, maka dengan ini buku berjudul Panggil Aku Kartini Saja, karya
Pramudya Ananta Toer, kukembalikan kepadamu,”
Bukankah rencana ini cukup brilliant? Dan akhirnya buku ini akan kembali
kepadaku. Tapi Ssssssssssssssttttt, bagi kalian yang kenal Mering, jangan
cerita akal bulus ini kepadanya ya. Biarkan saja dia membaca sendiri. Karena
tidak akan seru kalau diceritakan. Bukan cuma buat Mering saja, buat yang lain
juga. Bagi yang sudah baca cerita ini, suruh teman-teman, saudara, keluarga,
kekasih, tetangga, musuh bebuyutan, atau siapa saja, untuk membaca cerita yang
ada dalam buku ini. Kalau perlu pasang iklan di koran-koran bahwa ada buku
menarik yang ditulis anak daerah ini yang wajib dibaca siapa saja. Dan ingat,
jangan sekali-kali kalian pinjamkan buku yang sudah kalian beli ini ke
orang-orang itu. Awas, bahaya. Nanti nasib yang kualami karena telah
meminjamkan buku kepada Mering akan menimpa kalian semua. Suruh mereka beli
sendiri. Ya. Sekali lagi. Jangan pernah pinjamkan buku ini ke orang lain.
Ceritakan saja, bahwa buku ini sangat bagus, bacanya sampai gemetaran. Nah
ketika mereka mulai penasaran, suruh mereka beli sendiri.
Pelajaran moral keempat: MEMBELI BUKU INI AKAN DIDOAKAN MASUK SURGA OLEH
PENULISNYA.
Kembali ke cerita tentang Alexander Mering, lelaki titisan Dewa Wisnu yang
terakhir kalinya di muka bumi. Setelah dipecat dari koran tempat dia bekerja,
lelaki ini tidak tinggal diam. Dia dan teman-teman senasib sepenanggungan punya
rencana luar biasa menakjubkan. Dan benar-benar menakjubkan ketika rencana ini
pada akhirnya benar-benar mampu mereka wujudkan. Dimulai dengan tantangan yang
lebih bersifat menyepelekan, “Kalau kalian mampu, bikin aja koran sendiri.
Kalian pikir bikin koran itu mudah?” Mendirikan sebuah perusahaan media cetak
memang tidak mudah. Tapi Mering dan teman-teman bukan orang sepele. Mereka sama
sekali tidak layak diremehkan. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan daerah
yang dialiri sungai terpanjang di negara ini penuh warna. Penuh keberagaman.
Indah dan mempesona. Alexander Mering dan teman-teman dengan idealisme
jurnalist yang mereka miliki pada akhirnya mampu mendirikan sebuah perusahan
media cetak daerah yang tak bisa dipandang sebelah mata di usia mereka yang
benar-benar masih bayi batita (bayi di bawah tiga tahun). Nur Iskandar, teman
senasib sepenanggungan Mering yang kemudian dipercaya untuk memimpin redaksi
koran yang mereka dirikan.
Tak lama setelah koran baru ini terbit, tiba-tiba Mering menghubungiku. Dia
bercerita bahwa dirinya dipercaya untuk mengendarai halaman sastra yang terbit
setiap hari minggu. Dan dia ingin menerbitkan cerita tentang diriku sebanyak
satu halaman penuh di koran tersebut. Satu halaman penuh? Tentu saja aku
terkejut dan bertanya dalam hati, apakah layak diriku untuk satu halaman penuh?
Apa kapasitasku? Siapa diriku? Serta merta kecamuk pertanyaan dalam hati
tersebut dipatahkan oleh Mering. Seolah-olah titisan dewa Wisnu ini dapat
membaca pertanyaan-pertanyaanku, meskipun di dalam hati. Katanya, aku mampu
menginspirasi mereka untuk menularkan semangat kepenulisan kepada masyarakat di
Kalimantan Barat. Dan Mering mengaku, bahwa gagasan mereka berkeliling sekolah
untuk menularkan ilmu jurnalistik ke para siswa itu meniru apa yang telah
kulakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Cuma tools-nya yang berbeda, kalau aku
memotivasi anak-anak remaja untuk menulis sastra, Mering dan kawan-kawan
seperjuangan memotivasi mereka untuk menulis fakta, atau jurnalistik.
Mengenai apa yang telah kulakukan, yakni berkeliling ke sekolah-sekolah,
pada dasarnya hanya bermodalkan semangat. Bahwa kalau saja setiap anak di
daerah ini mau membaca kemudian mengaplikasikan apa yang mereka baca dengan
menulis, maka menjadikan daerah ini jauh lebih baik, itu lebih mudah daripada
sekadar membalikkan telapak tangan. Ya. Menulislah. Maka perubahan ke arah yang
lebih baik tiba-tiba saja berada di depan mata. Dan ketika gagasan kampanye
baca tulis ini kemudian ditiru oleh Mering dan teman-temannya, sama sekali aku
tidak pernah bersedih. Malah sebaliknya, senang sembilan belas keliling.
Sukur-sukur akan ada lagi mereka yang lain yang terus mengkampanyekan persoalan
baca tulis. Dan betapa senangnya diriku, karena semakin hari semakin banyak
personal, lembaga, organisasi atau entah apa namanya, di Kalimantan Barat yang
turun ke sekolah, mengkampanyekan kepada para siswa untuk membaca dan menulis.
Sebut saja di antaranya Fredy, penulis muda harapan Kalimantan Barat di masa mendatang,
dan Lentera Community, kommunitas kepenulisan yang berisi para remaja yang
memiliki semangat menulis luar biasa.
Begitulah, sehabis memotret wajahku di warung kopi di bilangan jalan Gajah
Mada Pontianak, Mering memintaku memberikan data diriku. “Wawancaranya via
e-mail saja ya,” katanya. Kusanggupi. Tak lama setelah itu, memang benar-benar
terjadi, satu halaman penuh ada cerita tentang diriku yang ditulis Alexander
Mering, dengan nama Wisnu Pamungkas. Dalam buku ini, cerita itu kutampilkan
kembali. Tak hanya sebagai ucapan terima kasih tak terhingga kepada orang
bersuku Batak dengan marga Simalakama, tetapi juga sebagai sebagai ikrar
bersama, bahwa semangat yang tak berhenti menyala adalah hal yang paling
membuat hidup ini begitu berharga.
Kata Mering: "Brur, udah kubalekkan (kukembalikan) buku tu, buku burok lantok pun diribotkan, dah dibalekkan pun tak terimakasih. Awas ye kalau nagih agek, aku kutuk jadi ente jadi Kartini....hahahahaha".