Sebelum Kelompok Tani Muda Palambon Pucuk Baguas (KTM-PPB)
terbentuk Oktober 2011, sebagian anak muda keturunan Dayak Selako itu
terjebak dalam permainan tongkok atau judi China. Mereka juga gemar
mabuk-mabukan. Padahal, sehari-hari mereka cuma penoreh karet atau
perambah hutan. Sebagian juga berdagang dan jadi buruh di Pontianak,
Kalimantan Barat.
Dusun Loncek bisa disebut daerah terisolasi. Meskipun berjarak
hanya sekitar 75 kilometer dari Kota Pontianak, baru ada jalan tanah
untuk menuju dusun itu. Posisinya diapit tujuh bukit, di antaranya
Loncek, Buliatn, Buluh, dan Jahanang. Infrastruktur itu baru dibangun
tahun 2009 menjelang masuknya perkebunan sawit. Sebelumnya, jalan
satu-satunya untuk masuk dan keluar dusun hanya lewat sungai di Dusun
Loncek.
Dari pinggir jalan trans-Kalimantan, jaraknya masih 20 kilometer
lagi untuk menuju Dusun Loncek. Jalan lainnya lewat perkebunan sawit
yang berjarak 15 kilometer, tetapi harus meminta izin petugas.
Bagi mereka memang tak ada pilihan. Sebab, mereka hanya tamatan
sekolah dasar atau paling tinggi sekolah menengah pertama (SMP). ”Waktu
itu kami tak punya harapan. Uang hasil tebang pohon atau menoreh karet
habis untuk tongkok atau minum arak,” kata Herman (24), warga Dusun
Loncek, tamatan SMP, saat ditemui Kompas, akhir Januari lalu.
Herman merupakan salah satu dari puluhan anak-anak muda di Dusun
Loncek yang menggantungkan hidupnya dari menebang pohon atau penoreh
karet. Setelah masuk pengusaha perkebunan mengonversi hutan mereka
hingga ribuan hektar pada tahun 2010, hidup mereka semakin sulit.
”Dari puluhan anak muda Dusun Loncek, hanya satu dua yang diterima
kerja. Itu pun hanya jadi buruh atau petugas satuan pengamanan. Jadi,
kami teruskan merambah hutan,” kata Herman. Setelah sawit masuk, lahan
hutan jelas semakin terbatas dan produksi kayu juga menyusut.
Hal itu dibenarkan Laurensius Edi (26), warga Dusun Loncek, yang
kini menjadi fasilitator lapangan untuk Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Peduli yang diselenggarakan Yayasan Pemberdayaan Pefor
Nusantara (YPPN) bekerja sama dengan Partnership, sebuah lembaga
swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta. YPPN adalah LSM di Pontianak.
Seperti halnya Herman, Edi juga pernah kehilangan harapan. Meskipun
diterima di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Tanjungpura, Pontianak, Edi sama sekali tidak mampu membiayai kuliahnya.
”Selain merambah hutan, saya juga berdagang daging untuk biaya kuliah,
tetapi sering habis untuk tongkok atau minum-minum,” katanya.
Dua setengah tahun silam, Edi yang tengah berjualan tak sengaja
bertemu dengan Alexander Mering di Desa Telukbakung. Mering adalah
wartawan yang juga aktivis YPPN. Mering, waktu itu, tengah
mengidentifikasi masyarakat perambah hutan di Sungai Ambawang, yang
dikenal sebagai pemasok kayu bulat jenis cerucuk untuk tiang bangunan.
Dari identifikasi itu, Mering bisa mengusulkan PNPM Peduli bagi
masyarakat setempat agar mereka tidak lagi menjadi perambah hutan, dan
memiliki kemampuan mengelola potensi daerahnya.
Kebetulan, Edi merupakan salah satu penebang kayu cerucuk yang
tengah diidentifikasi Mering. Dari Edi inilah, Mering mendapatkan banyak
informasi tentang perambahan hutan. Bahkan, Mering juga bisa bertemu
dengan komunitas anak muda Katolik Dusun Locek yang umumnya putus
sekolah.
”Mereka dalam kondisi terjepit, dan ingin melawan perkebunan yang
mereka anggap mempersulit hidup mereka. Namun, saya anjurkan untuk tidak
melakukan kekerasan seperti demo atau menduduki kantor perkebunan.
Diarahkan melawan dengan damai dan cerdas,” tutur Mering.
Pria keturunan Dayak Iban itu pun akhirnya mengajak Edi dan
anak-anak muda Dusun Loncek untuk berdialog terkait kehadiran perkebunan
sawit dan potensi Dusun Loncek. ”Saya tawarkan, apakah mereka ingin
jadi pegawai dengan berusaha sendiri atau hanya ingin terima gaji dan
bekerja di perkebunan? Akhirnya, mereka memilih mendirikan usaha dan
bisa menggaji diri mereka sendiri ketimbang digaji perkebunan sawit,”
kata Mering. Dari situ terbentuklah KTM-PPB.
Pembibitan karet ungul
Kelompok ini khusus untuk menyiapkan pembibitan tanaman karet
(Hevea brasiliensis) bagi warga desa dan masyarakat lainnya. Awalnya,
KTM-PPB dipimpin Leo, menghibahkan lahan miliknya untuk tempat
pembibitan karet unggul. Ia lalu mengundurkan diri setelah menikah dan
digantikan oleh Pucuk alias Sarjono (30), tamatan SMP.
Kegiatan kelompok ini di antaranya mempersiapkan lahan hingga
okulasi karet untuk pembibitan serta penjualan bibit karet unggul. Lahan
pertama yang digunakan KTM-PPB adalah kawasan Kumbang 13, tak jauh dari
pintu masuk Dusun Loncek.
Sejak KTM-PPB terbentuk, anak muda Dusun Loncek memang seperti
bangkit dari tidur. ”Mereka punya harga diri karena tak lagi minum
minuman keras, apalagi judi. Merambah hutan juga dikurangi. Hari-hari
mereka banyak tersita untuk pembibitan karet,” ujar Edi.
Kini, KTM-PPB juga sudah memiliki tabungan yang disimpan di credit
union atau semacam lembaga keuangan mikro di Kalimantan. Bahkan, KTM-PPB
pun menginspirasi terbentuknya kelompok lain di Loncek, yaitu Kelompok
Tani Burung Arue yang khusus untuk ibu-ibu, dan Kelompok Tani Sabaya Mao
yang anggotanya para bapak.
Sumber:www.kompas.com