Manusia Danau, Sumur, dan Mesin: Menulis di Era Kecerdasan Buatan

Tiga puluh tahun lalu, di ruang redaksi sebuah koran di Pontianak, Kalimantan Barat, komputer tua berderit setiap kali aku mengetik berita. Pagi bisa tentang pedagang ikan di pasar malam, malam tentang kerusuhan etnik yang merenggut ribuan nyawa. Selama 14 tahun sebagai wartawan, dunia jurnalistik mengajarkan menjadi “manusia danau”—mengetahui banyak hal, tapi hanya permukaannya. Politik lokal, adat Dayak, hingga oknum aparat yang terlibat illegal logging di perbatasan Kalbar-Sarawak, semua kutahu. Lalu, selama 10 tahun di NGO nasional dan internasional, fokus beralih menjadi “manusia sumur”—mendalami isu deforestasi dan hak-hak masyarakat adat, tapi cakupannya terbatas. Kini, di tahun 2025, kecerdasan buatan—AI seperti ChatGPT, magiclight AI, atau Grok—mengguncang dunia penulisan. Penulis dituntut menjadi hibrida: danau yang luas, sekaligus sumur yang dalam. Bisakah seorang yang besar di pedalaman dan pernah melangkah ke forum internasional tetap relevan di era mesin ini?

“Mas, ini berita tentang illegal logging, kapan selesai?” tanya pemred di ruang redaksi dulu, dengan wajah galak. “Sebentar, Pak, lagi susun data dari perbatasan,” jawabku sambil mengetik. Itu zaman ketika pena harus beradaptasi dengan komputer. Sejarah mencatat, pena selalu menyesuaikan diri. Charles Dickens menulis dengan pena bulu di abad ke-19, tapi mesin cetak membawa ceritanya ke ribuan pembaca. Kini, AI adalah mesin cetak baru—lebih cerdas, tapi juga menantang. McKinsey (2023) memprediksi 30% pekerjaan kreatif, termasuk menulis, akan diotomatisasi pada 2030. Di Indonesia, industri penerbitan masih terpuruk sejak pandemi. Survei IKAPI 2020 mencatat 58,2% penerbit kehilangan lebih dari separuh penjualan, permintaan buku turun 63,3%. Pada 2024, 80% penulis hanya mendapat royalti di bawah Rp 2 juta per tahun. Toko buku seperti Gunung Agung tutup sejak 2023, distribusi makin sulit. Tapi, dunia menunjukkan peluang: penjualan e-book dan audiobook naik 8% pada 2022, menurut Asosiasi Penerbit Inggris. Krisis ini membuka jalan, asal penulis berani melangkah.

Bayangkan seorang penulis muda di Sarawak, ingin menceritakan hutan Pulau Galau Dayak Iban yang terancam ekspansi kebun sawit. “Pakai AI, nggak perlu berminggu-minggu bikin draf novel,” kata temennya, seorang content creator. “Cuma beberapa jam, plot dan dialog udah jadi.” Benar, dengan ChatGPT, draf novel bisa selesai cepat. Tapi cerita yang menyentuh? Itu dari manusia. Bau tanah basah setelah hujan, suara burung enggang, atau duka tetua Dayak yang kehilangan tanah leluhur—itu tak bisa dibuat mesin. Penelitian University of Cambridge (Fleming, 2024) bilang 60% pembaca lebih suka karya dengan sentuhan manusia—emosi, humor, atau cerita.

Cerita lokal. Di sinilah letak keunggulan seorang penulis: menggali sumur pengalaman yang otentik.

AI juga memperluas peluang. Dulu, berita hanya sampai di halaman koran lokal. Sekarang, seorang penulis bisa mengubah novel menjadi trailer video dengan Google AI Studio, membuat ilustrasi dengan MidJourney, atau menciptakan musik dengan Suno. “Bikin video pendek di TikTok, pasti viral,” saran seorang teman pemasar digital di Jakarta. Di Indonesia, 68% penduduk aktif di media sosial, menurut We Are Social (2025). AI bisa membantu menciptakan konten yang menarik perhatian. Seorang penyair muda di Instagram, misalnya, menggunakan visual AI dan caption emosional untuk menarik ribuan pengikut. Kumpulan puisi terbaru sedang diselesaikan dalam format hibrida—teks ditulis manual, musiknya dibuat dengan AI. Harvard Business Review (2023) menyebut kreator yang menggunakan AI untuk pemasaran digital meningkatkan engagement hingga 35%. Dulu, menjangkau pembaca di Sarawak atau Jakarta butuh perjuangan. Kini, AI menjadi jembatan langsung. Bahkan juga bisa sampai ke sudut terjauh planet bumi.

Namun, kedalaman tetap penting. Mesin tak bisa menangkap luka hati saat patah hati, atau cerita kerusuhan Mei 1998 yang pilu sekaligus memalukan. Tak bisa pula memahami semangat komunitas adat melawan deforestasi. Puisi tentang perjuangan masyarakat Dayak di Buku Republik Kelamin yang ditulis Wisnu Pamungkas, bisa diubah menjadi musik dan video dengan AI, lalu diunggah ke kanal @suararusaks untuk menjangkau aktivis global. “Cerita lokal itu kekuatan kita,” kata seorang tetua Dayak dalam diskusi di Kapuas Hulu, Kalbar. Penulis Indonesia bisa menggali mitologi atau legenda lokal, lalu memanfaatkan AI untuk menembus pasar global. “Cerita lokal itu daya tarik tersendiri,” kata seorang penerbit di Jakarta Book Fair. Taylor & Francis (2024) mencatat platform digital berbasis AI meningkatkan distribusi karya hingga 40%, memberi penulis independen peluang bersaing dengan penerbit besar. Seorang penulis di Yogyakarta pernah bilang, “Dulu susah jangkau pembaca luar, sekarang AI bikin semuanya lebih mudah.”

Tantangan di Indonesia tentu masih ada. Internet di daerah terpencil sulit diakses, literasi digital di kalangan penulis lokal juga rendah. “Belajar AI itu susah, nggak ngerti caranya,” keluh seorang penulis muda di sebuah pelatihan di Sekadau. Tapi solusi selalu ada. Komunitas online atau pelatihan dari penerbit independen bisa membantu. Risiko lain: AI kadang membuat karya terlalu “halus”, kehilangan jiwa. “Jaga cerita aslimu,” pesan seorang editor senior. AI boleh membuat draf, tapi hanya hati manusia yang bisa menulis tentang rindu.

Jadi, penulis modern itu apa? Hibrida. Mereka menjelajahi peluang luas—menulis buku, membuat konten digital, menciptakan musik, hingga skenario film—sambil menggali makna yang mendalam. Di Indonesia, di mana hanya 1% penulis global hidup dari menulis (The Guardian, 2024), inovasi adalah kunci. Seorang penulis di Mentawai bisa membuat novel grafis mitologi lokal, lalu memasarkannya via TikTok dengan video AI. Penulis global seperti Yuval Noah Harari juga memanfaatkan teknologi, dari podcast hingga infografis.

AI bukan ancaman, tapi alat. Penulis adalah penjaga kata-kata. “Gunakan AI untuk bikin ceritamu bersinar,” kata seorang mentor di acara Satu Pena. Tapi ingat: nyala itu lahir dari hati—dari warung kopi di Jogja, dari hutan Tembawang, dari perjuangan yang hanya dipahami manusia.

*) Penulis adalah Anggota Satu Pena DIY

 

Daftar Pustaka

  • Fleming, N. (2024) ‘Human touch in creative writing: Reader preferences in the AI era’, Journal of Cultural Studies, 29(3), pp. 45–62.
  • Harvard Business Review (2023) ‘Digital marketing and AI: Boosting creator engagement’, HBR Analytics Report, 15 October. Available at: https://hbr.org (Accessed: 2 June 2025).
  • Kompas.id (2023) ‘Industri belum pulih benar, inovasi bisa bangkitkan perbukuan’, 22 May. Available at: https://www.kompas.id (Accessed: 2 June 2025).
  • McKinsey & Company (2023) ‘The future of work: Automation and creative industries’, McKinsey Global Institute Report, November. Available at: https://www.mckinsey.com (Accessed: 2 June 2025).
  • Publishers Association (2023) ‘UK publishing industry: Annual report 2022’, Publishers Association. Available at: https://www.publishers.org.uk (Accessed: 2 June 2025).
  • Taylor & Francis (2024) ‘AI and the future of publishing: Opportunities for independent authors’, Taylor & Francis Online, 3 August. Available at: https://www.tandfonline.com (Accessed: 2 June 2025).
  • The Guardian (2024) ‘The state of global publishing: 2024 insights’, 10 January. Available at: https://www.theguardian.com (Accessed: 2 June 2025).
  • We Are Social (2025) ‘Digital 2025: Indonesia’, We Are Social Global Report, January. Available at: https://wearesocial.com (Accessed: 2 June 2025).

 

0 Comments

An encouraging quote from me:

"Something I know that you don't know, something you know that I don't know, that's why life is so important and beautiful to be written."