Memotret Bulan di Negeri Gajah Putih


Sebuah catatan (3)

by A.Alexander Mering

Bangun pagi aku menghadap jendela yang terbuka. Di luar masih gelap, hanya ada bulan pucat seperti sebuah lukisan yang tersangkut di cakrawala. Aku menguap dua kali sebelum bergerak menyambar kamera, membidik langit.
"Klik! Klik! Klik! Klik! Empat frame, Cukuplah. Aku memeriksa hasilnya. Lumayan, tak mengecewakan. Aku memang sudah lama jatuh cinta pada bulan, seperti juga aku tergila-gila pada pantai dan laut. Seingatku, sejak aku pandai memanjat pohon di kampung kakekku di Senangan,-- Kabupaten Sintang--aku kerap ditegur ibu karena sering memanjat pohon rambutan agar dapat memandang bulan dari tempat yang tinggi.
Memandang bulan bagiku sebuah kemewahan, apalagi sekarang di Kota Bangkok, Thailand. Satu-satunya negara di Asia yang tak pernah dijajah.

***
Usai mandi kembali aku menghadap jendela. Dua pohon Jelutung tampak masih basah menadah sisa embun. Pucuknya sudah rata digergaji sehingga aku dengan mudah bisa melihat kesibukan di jalan raya Sri Ayutthaya dari lantai dua guess house tempat aku menginap.
Di seberang jalan ada ruko 4 lantai berderet memanjang. Dindingnya sudah kusam, hingga warna pink dan biru muda yang menyaputnya nyaris tak dapat dikenali lagi. Mungkin sudah bertahun-tahun bangunan itu tak cat walau berpenghuni. Sengkarut Kabel listrik yang berpilin-pilin, antena tv, kabel telepon dan pohon Bungur (?) tua yang terpacak disana menambah angker tampang Ruko tersebut.
Jam di pergelangan tanganku menunjukan pukul 06.00 pagi. Waktu Thailand dan Indonesia, tak berbeda. Karena itu sejak bertolak dari Pontianak kemarin aku tidak mengubah jam, meskipun transit di Kucing International Airport dan Kuala Lumpur International Airport.
Tiba-tiba aku merasa lapar, ingin cepat-cepat keluar mencari pengganjal perut.

0 Comments

An encouraging quote from me:

"Something I know that you don't know, something you know that I don't know, that's why life is so important and beautiful to be written."