SEBUAH KOMPUTER DAN SMS LINDU

By A. Alexander Mering

Belum pernah aku sesedih ini sejak dua tahun terakhir. Bahkan aku tidak sesentimentil ini ketika harus kehilangan pekerjaan karena mempertahankan prinsip sebagai seorang jurnalis. Tapi hari ini aku benar-benar terhiris, ketika Hedwigis Novellindu Hening, putri sulungku, mengirimkan sepenggal SMS: “Jangan jual komputer Lindu, ya pa.”
Aku sungguh-sungguh terenyuh, sampai-sampai pandanganku mengabur menahan cairan bening yang seperti hendak jatuh dari kelopak mata. Ini adalah permintaan jujur seorang anak kepada ayah. Tiba-tiba aku ingin segera minta maaf dan memeluknya, karena tanpa mendengarkan perasaan-perasaannya, tahu-tahu aku membuat keputusan: menjual satu-satunya computer di rumah kami dengan alasan terpaksa. Aku merasa telah bersalah, karena sekecil apa pun pendapatnya, ia tetap harus didengar sebagai bagian dari anggota keluarga, meski usianya baru 7 tahun.
Apalagi sehari-harinya, dialah yang paling sering menggunakan computer itu, walau sekadar main game atau mendengarkan musik. Sejak masih berumur 5 tahun ia sudah akrab dengan computer tersebut. Lindu sendiri mengenal computer sejak usia 2 tahun. Aku mengenalkannya sejak dia belum mengenal aksara. Mula-mula ia memencet tuts computer secara serampangan. Hingga sekarang ketikannya yang tak beraturan itu masih aku simpan dalam file tersendiri. Aku tak mau anakku phobia teknologi dan gugup seperti aku ketika pertama kali disuruh menghidupkan computer. Padahal ketika itu aku sudah duduk di semester 3 bangku kuliah. Seingatku banyak sekali mahasiswa asal daerah yang meski beruntung dapat kuliah di kota tapi sempat Gaptek juga (gagap teknologi) saat menghadap meja komputer.
Maka ketika seorang teman hendak membeli komputerku, aku dihinggapi rasa sedih dan cemas sekaligus. Tak Cuma karena SMS anakku itu, tetapi juga betapa menyedihkan cara yang harus kupilih untuk mendapatkan sekadar ilmu. Krisis financial membuat aku tak ada pilihan lain, selain menjual satu-satunya harta kekayaan keluarga ini, agar dapat ke Jakarta dan belajar lagi di Pantau Foundation.
Setelah di PHK, atomatis aku memang tiada sumber penghasilan tetap untuk membuat dapur keluarga berasap. Honor Rp 1 juta yang aku terima tiap 3 bulan terakhir menjelang persiapan persalinan koran baru (Borneo Tribune) tak cukup menyangga kebutuhan 3 nyawa yang harus kuberi makan setiap hari. Sementara sisa pesangonku yang tak seberapa berikut tabungan keluarga sudah ludes. Aku pula harus berjuang meningkatkan skill menulis agar suatu saat kelak, aku tak perlu lagi cemas mendengar kata PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Aku bosan hanya menjadi wartawan kacangan yang karyanya tak masuk hitungan. Suatu hari kelak, yang entah kapan dan dimana, aku ingin berkata, ”pecatlah aku 1000 kali, maka karyaku akan memenuhi negeri ini!”
Karena itu aku merasa teramat sedih, bahwa untuk mencapai tarap itu, aku harus mengorbankan kebanggaan anakku. Menjual computer yang sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari kehidupannya. Dulu aku punya desk note yang kubeli di Kuching. Tapi karena ingin anakku maju seperti anak-anak lain yang beruntung di negeri ini, aku menjual desk note itu dan menggantinya dengan PC rumah.
Hingga pukul 02.00 pagi, saat merampungkan tulisan ini, hatiku masih gundah. Antara hasrat mengejar cita-cita dan perasaan-perasaan yang turut terseret di dalamnya.
Aku terus mengetik dengan sedih dan belum satu file data pun kupindahkan dari computer ini. Padahal di dalamnya tersimpan sekitar 22,33 GB data kerja dan keluarga. Mulai dari foto keluarga, video Lindu masih bocah, pembukuan rumah tangga, proposal, surat undangan, resep masakan, sajak cinta dan berbagai tetek-bengek lainnya yang pasti bakal menjadi sebuah sejarah di suatu hari kelak.


Pontianak, 6 Maret 2007

0 Comments

An encouraging quote from me:

"Something I know that you don't know, something you know that I don't know, that's why life is so important and beautiful to be written."