Tiga Jam di KLIA

Sebuah Catatan (1)

by A. Alexander Mering

KLIA-Di Kuala Lumpur International Airport seorang balita sibuk menggigit benang yang menjuntai-juntai dari koper ayahnya. Mereka duduk di kursi tunggu, tak jauh dariku. Sang bocah sesekali mencuri padang. Aku cuma bisa memberinya senyuman kecut.
Di kursi deretan depan seorang Sami Budha berkacamata dengan jubah serba kuning tanah menoleh ke belakang, sebelum menutup laptop. Dia, pantatnya dan pergi. Lagi-lagi aku hanya bisa memberinya senyuman kecut.
Telingaku masih terasa pekak setelah dihajar grafitasi, ketinggian pesawat Air Asia yang mengantarkan aku ke tempat ini. Jadi masih tak jelas apa yang diucapkan para penumpang yang berjejal di ruang tunggu ini.
Ohya, saat makan nasi lemak di kedai tak jauh dari ruang tunggu tadi, telingaku samar-samar menangkap percakapan 5 lelaki dan perempuan dalam bahasa Jawa yang aku fahami. Matanya sipit semua. Jelas mereka warga keturunan Tionghoa. Sungguh dahsyat Orde Baru ternyata, hingga jejaknya pun tercecer di luar negeri? Dari apa yang mereka percakapkan aku menduga mereka dari Jakarta.
Coklat yang kukunyah perlahan--sambil menanti keberangkatan selanjutnya ke Bangkok--sedikit mengurangi dengingan di telingaku yang terasa bolot. Mataku mencari-cari, siapa tahu ada wajah yang kukenal di sekitar seni. Sangat sunyi rasanya tanpa teman di tempat terasing seperti ini.
Jam di tangan baru menunjukkan pukul 2.26 PM, waktu Indonesia. Berarti di sini pukul 3.26 PM waktu Malaysia. Karena waktu Indonesia dan Malaysia selisih satu jam. Sedangkan pesawat yang kutumpangi ke Bangkok baru akan berangkat 5.25 waktu Malaysia. Puih! Masih lama sekali. Maka kulumat coklat lagi untuk membunuh rasa jenuh dan kesepian.

***
Seorang wanita kulit putih melintas, menyeret-nyeret koper abu-abunya membelah keramaian. Rambut peraknya meriap-riap memperlihatkan cuping telinga kemerah-merahan. Mungkin dia terlalu banyak berjemur di bawah matahari Asia.
Eh...., eh...dia menoleh ke arahku pula! Aduh..., aku gugup dan gelagapan. Busyet cantik juga bule ini. Aku memasang senyum paling keren menutup gugup. Tapi taik kucinglah! Ini airport bung! Tempat orang lalu-lalang tanpa ada yang peduli. Terkadang aku berpikir, apa bedanya sebuah air port dengan negeri dongeng? Dimana orang sama-sama datang dan pergi dari dan ke sebuah tempat yang entah di mana. Dia mengangguk tapi terus menghilang ke balik orang-orang.
Perasaan yang bertumbuk-tumbuk dalam diri membuatku kebelet ingin ke toilet. Opps! Seorang polisi wanita tiba-tiba nongol di pintu, di samping kiri ruangan yang hanya berjarak 10 langkah dari tempatku duduk. Topi biru tua yang menutup tudung (kerudung)-nya membuat penampilannya terasa aneh di mataku yang Indonesia.
“Inilah topi yang membuat ciut nyali banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negeri bekas jajahan Inggris ini,” pikirku coba melucu.
Aku meletakkan kembali pantat di kursi. Bukan karena takut, tapi ingin mengamati apa yang dilakukan ’polwan' Melayu itu. Karena dua polisi lelaki mendekatinya, mereka berbincang dan bergegas menuju arah luar bandara. Entah apa yang terjadi di luar sana, aku mulai merasa lelah dan mengantuk.

0 Comments

An encouraging quote from me:

"Something I know that you don't know, something you know that I don't know, that's why life is so important and beautiful to be written."